Selasa, 19 April 2011

TILAKKHANA


TIGA CORAK KEHIDUPAN
(Tilakkhana)

"Sabbe sankhara anicca`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya."
Segala sesuatu yang berkondisi adalah anicca. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
(Dhammapada 277)

"Sabbe sankhara dukkha`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya."
Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
(Dhammapada 278)

"Sabbe dhamma anatta`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya."
Segala dhamma (kebenaran) adalah anatta. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
(Dhammapada 279)



Tilakkhana atau tiga corak, ciri, karakteristik yaitu anicca, dukkha dan anatta, merupakan tiga corak, ciri, karakteristik yang ada di setiap segala sesuatu atau fenomena yang terbentuk dari perpaduan unsur (berkondisi) yang ada di alam semesta ini, termasuk makhluk hidup. Ciri ini merupakan salah satu bentuk dari Hukum Kebenaran Mutlak (Paramatha-sacca) karena berlaku dimana saja dan kapan saja.



Anicca

Anicca berasal dari kata ”an” yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan ”nicca” yang berarti tetap, selalu ada, kekal, abadi. Jadi kata ”an-nicca” berarti tidak tetap, tidak selalu ada, tidak kekal, tidak abadi, berubah. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anitya.

Sabbe sankhara anicca berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, merupakan sesuatu yang mengalami perubahan, tidak kekal.

Semua fenomena yang ada di dalam alam semesta ini selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses, yaitu:
Upadana (timbul), kemudian Thiti (berlangsung), dan kemudian Bhanga (berakhir/lenyap).

Mengapa segala fenomena mengalami perubahan atau tidak kekal? Hal ini karena sudah menjadi sifat alami dari segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur akan mengalami perubahan, ketidakkekalan.



Dukkha

Dukkha berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Jadi kata ”duh-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.

Sabbe sankhara dukkha berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban berat atau penderitaan.

Mengapa segala fenomena tidak memuaskan dan menimbulkan beban berat atau penderitaan? Hal ini dikarenakan segala fenomena tersebut mengalami perubahan, tidak kekal. Dan ketika kita tidak bisa memahami dan menerima bahwa segala fenomena selalu mengalami perubahan, tidak kekal, maka timbul perasaan ketidaksukaan, ketidakpuasan pada diri kita dan akhirnya menimbulkan beban berat atau penderitaan.



Anatta

Anatta berasal dari kata ”an” yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan ”atta” berarti berarti diri sejati atau inti/`roh`. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti bukan diri sejati atau tanpa inti/`roh`.

Sabbe dhamma anatta berarti segala dhamma (kebenaran) yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, dan juga yang tidak berkondisi, tidak terbentuk dari perpaduan unsur merupakan sesuatu yang tidak memiliki inti/`roh` dan  bukan diri yang sejati.

Beberapa orang telah salah memahami mengenai ajaran anatta dengan beranggapan bahwa tidak ada diri, tidak ada yang namanya orang/person (puggala). Anggapan ini keliru. Guru Buddha tidak mengajarkan hal ini. Beliau mengajarkan bahwa ada yang disebut dengan diri atau orang/person (puggala), tetapi diri atau orang/person (puggala) tersebut bukanlah benar-benar inti atau jati diri dari diri atau orang (person) tersebut, melainkan hanyalah merupakan perpaduan unsur-unsur yang membentuk, yang membuatnya ada atau eksis yang suatu saat akan mengalami perubahan. Karena perpaduan unsur-unsur inilah diri seseorang terbentuk. Dan karena segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan dari unsur-unsur pasti mengalami perubahan, maka diri seseorang pun mengalami perubahan, penguraian, yang akhirnya eksistensi dari diri seseorang tidak lagi ada atau eksis. Inilah mengapa dikatakan tidak memiliki inti atau bukan diri sejati.

Mengapa segala fenomena tidak ada inti atau bukan diri sejati?

Di dalam Anattalakkhana Sutta; Samyutta Nikaya 22.59 {S 3.66}, Guru Buddha menjelaskan bahwa Rupa (jasmani), Vendana (perasaan), Sanna (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Vinnana (kesadaran) disebut sebagai Panca Khanda (lima kelompok kehidupan/kegemaran) yang semuanya bukanlah diri sejati. Jika Khanda itu merupakan diri sejati, maka tidak akan mengalami penderitaan, dan semua keinginan seseorang akan kandha-nya akan terpenuhi, ”Biarkan Kandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu.”

Tetapi karena khanda tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan atau harapan seseorang, ” Biarkan Kandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”, dan juga mengalami penderitaan, maka dikatakan bahwa kandha bukanlah diri sejati.

Selain ajaran Anatta yang diajarkan oleh Guru Buddha, di dunia ini terdapat 2 ajaran atau paham lain yang terdapat dalam kepercayaan lain, yaitu:
  1. Attavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa terdapat atta atau inti atau diri sejati yang tidak mengalami perubahan, yang ada sepanjang masa atau abadi meskipun melalui tahap kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Eternalisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
  2. Ucchedavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa sama sekali tidak terdapat atta atau diri, dimana ketika mati maka semuanya akan turut lenyap, tidak membentuk apapun lagi, tidak meengalami kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Nihilisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
Beberapa contoh nyata mengenai ajaran Anatta. Ketika kita melihat sebuah sofa maka kita akan melihatnya sebagai hal yang biasa dan menyebutnya sebagai sofa. Tetapi ketika sofa yang terbuat dari kayu, busa, kain, lem, tenaga manusia, dan sebagainya itu kita uraikan, kita pisah-pisahkan, kita bongkar, maka yang kita lihat sekarang hanyalah beberapa potong kayu bekas, kain, busa dan sebagainya yang tidak mungkin sama dengan bahan awal pembuat sofa. Kita hanya menyebutnya sebagai sisa sofa, kain bekas sofa, kayu bekas sofa, dan sebagainya. Kita tidak akan melihat lagi sofa tadi.

Contoh lain tentang ajaran Anatta, ketika kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dan  lain-lain Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan: ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali. Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.

Pemahaman akan ajaran anatta dapat juga dianalisa dan direnungkan dalam ajaran mengenai  Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).

Tilakkhana atau tiga corak umum adalah tiga keadaan yang mencengkeram segala sesuatu dalam semesta alam ini. Tidak ada suatu bentuk apapun yang bebas dari ketiga corak tersebut. Oleh karena itu, Tilakkhana merupakan corak yang universal.
Adapun ketiga corak umum itu terdiri dari:
  1. Anicca-lakkhana: corak berubah-ubah.
  2. Dukkha-lakkhana: corak penderitaan
  3. Anatta-lakkhana: corak tanpa aku.

  1. Anicca-lakkhana
    Anicca-lakkhana atau corak yang selalu berubah-ubah adalah corak yang khas dari keadaan Viparinama dan Annathabava. Viparinama berarti metafisika, yaitu suatu perubahan yang radikal di alam semesta, yang merupakan perubahan yang disebut dari bentuk yang ada ke keadaan yang tiada. Sedangkan Annathabava berarti perubahan yang mengikuti suatu keadaan sedikit demi sedikit.
  2. Dukkha-lakkhana
    Dukkha-lakkhana adalah corak yang menjelaskan mengenai penderitaan, yang tidak menyenangkan, nyata, dan selalu ada dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini. Kehidupan dari semua mahluk yang tampak maupun tak tampak, yang besar maupun kecil, sebenarnya merupakan dukkha yang nyata. Terdapat 12 macam dukkha, yaitu:
    1. Jati-dukkha: penderitaan dari kelahiran.
    2. Jara-dukkha: penderitaan dari ketuaan.
    3. Byadhi-dukkha: penderitaan dari kesakitan.
    4. Marana-dukkha: penderitaan dari kematian.
    5. Soka-dukkha: penderitaan dari kesedihan.
    6. Parideva-dukkha: penderitaan dari ratap tangis.
    7. Kayika-dukkha: penderitaan dari jasmani.
    8. Domanassa-dukkha: penderitaan dari batin.
    9. Upayasa-dukkha: penderitaan dari putus asa.
    10. Appiyehisampayoga-dukkha: penderitaan karena berkumpul dengan orangyang tidak disenangi atau dengan musuh.
    11. Piyehivippayoga-dukkha: penderitaan karena berpisah dengan sesuatu / seseorang yang dicinta.
    12. Yampicchannaladhi-dukkha: penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan.
  3. Anatta-lakkhana
    Anatta-lakkhana adalah corak yang menimbulkan pengertian bahwa bentuk-bentuk materi dan batin itu sebagai sesuatu yang "tanpa aku yang kekal".

    Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang abadi dalam diri kita adalah merupakan kombinasi dari kumpulan unsur fisik dan mental (pancakkhanda), yang terdiri dari jasmani (rupakkhanda), perasaan (vedanakkhanda), persepsi (sannakkhanda), pikiran (samkharakkhanda), dan kesadaran (vinnanakkhanda). Semua unsur ini bekerja bersama dalam sebuah perubahan secara terus menerus yang tidak pernah sama antara satu momen dengan momen lainnya.

    Dalam Anatta-lakkhana Sutta, Sang Buddha bersabda, "Jasmani, o para Bhikkhu, bukanlah Sang Aku. Perasaan bukanlah Sang Aku. Persepsi bukanlah Sang Aku. Pikiran bukanlah Sang Aku. Demikian juga kesadaran. Dengan memahami hal tersebut, O para Bhikkhu, sang murid tidak lagi terikat pada jasmani, atau pada perasaan, atau pada persepsi, atau pada pikiran, atau pada kesadaran. Dengan tidak terikat pada semua unsur itu, ia menjadi terbebaskan dari hawa nafsu. Pengertian mengenai kekebasan berkembang dalam dirinya. Dan kemudian ia tahu bahwa apa yang telah ia lakukan adalah apa yang harus dilalukan, ia hidup dalam kehidupan suci, ia tidak lagi akan menjadi ini atau itu, dan alur kelahirannya telah terputuskan."

1 komentar:

  1. Namo Buddhaya, saya blm. bisa mengerti doktrin/konsep Anatta dlm. hub.
    tujuan hidup manusia yi. mencapai Nirvana. Kalau kita tak punya Jiwa/Roh
    yg. kekal, apa yg. perlu susah2 untuk mencapai Nirvana? Bagi saya konsep
    Anatta diajarkan Sang Buddha agar kita tak 'melekat' pada dunia ini dan lbh.
    menuju pada pelepasan dari Samsara (tujuan utama Sang Buddha).Trims.

    BalasHapus